Masak itu gak pake Rumus
Masak itu gak pake Rumus
[Markaz, 29 Mei 2007; “Akhirnya ujiannya lancar”]
Lanjutannya masak-memasak....
Ngomong-ngomong soal resep, seperti saya sebutkan sebelumnya tergantung dari si pembuatnya. Karena selera tiap orang berbeda-beda, termasuk juga si juru masak. Sedikit banyak selera si pemasak ikut menentukan mau kemana citarasa dari masakannya. Tetapi kalo konteksnya profesional, maka juru masak yang baik adalah yang bisa memenuhi hasrat penikmat masakannya. Ia harus pandai mengira-ngira kesukaan dari konsumennya tersebut. Dan untuk skala besar, ia harus bisa membuat masakannya untuk tetap punya cita rasa khas tetapi bisa diterima semua lidah.
Aku sendiri sebenarnya sudah beberapa kali punya kreasi yang cukup berhasil. Walau begitu, karena status ku koki amatiran maka kemungkinan aku gak bisa lagi mengulang racikanku dengan rasa yang sama persis. Biasanya aku coba untuk mencatat formulasinya, sayangnya sekarang kebanyakan telah hilang entah kemana. Sebenarnya gak terlalu masalah, karena bagai manapun dalam memasak yang bekerja adalah feeling. Aku masih bisa mengingat-ingat bahan apa saja yang aku pakai. Tinggal masalah mengira-ngira seberapa banyak dan bagaimana bahan itu dimasukkan.
Aku akan cerita sedikit tentang masakan ku. Salah satu eksperimen yang ku pikir tidak terlalu sulit tapi rasanya lumayan adalah mie goreng bumbu gulai. Karena menggunakan bumbu gulai bubuk sehingga tidak perlu meracik rempah-rempah yang terlalu sulit. Tetapi jangan dikira begitu simpel. Mie goreng ini bukan menggunakan mie instan, tetapi mie telur yang diseduh. Otomatis tidak ada bumbu instan yang tinggal masuk. Bumbu lain yang kugunakan adalah bawang putih, dan kaldu ayam instan. Cara memasaknya benar-benar digoreng, setelah bumbu ditumis, mienya dimasukkan, tambah garam dan kecap.
Waktu itu aku akan berangkat kuliah lapangan, masaknya jam 3 pagi. Karena sebenarnya untuk makan siang dan sarapan, aku coba makan sebagiannya. Tapi karena enaknya aku nambah lagi, lagi, dan lagi. Akhirnya tanggung, kuhabiskan saja dan jadinya aku malah gak jadi bawa bekal.
Kalau percobaan yang cukup rumit mungkin macaroni schotel. Yang karena gak ada oven, aku memasaknya menggunakan rice cooker (agak sedikit ditim/steam). Beberapa bahan yang digunakan diresep pun aku ganti/subtitusi. Dan siapa sangka “kelinci percobaan” ku ternyata kepala gamais (Aji) yang kebetulan datang ke Markaz. Untungnya rasanya enak walaupun bentuknya kurang padat sehingga amburadul.
Kalo masakan paling berkesan mungkin saat di asrama turki, tempatnya si kamil. Saat itu masih ada daging berkilo-kilo sisa kurban, karena di sekolah Pribadi jumlah kurban berpuluh-puluh sapi. Hari itu rencananya adalah bakar-bakar sate dengan beberapa undangan, semuanya ITB. Karena dagingnya kelewat banyak dan penuh urat dan lemak maka akhirnya tidak semuanya disate. Kamil minta bantuan ku untuk masak buat anak-anak. Akhirnya kuputuskan membuat gulai. Karena dagingnya alot bukan main, prediksiku untuk bisa dipotong kecil-kecil daging itu harus di rebus. Sekalian mengambil kaldunya untuk gulai. Ternyata benar, setelah direbus daging jadi sangat mudah dipotong.
Untuk bumbu, biar gak repot kusuruh kamil membeli santan kotak dan bumbu gulai instan. Bumbu lainnya kumasukkan bawang merah, bawang bombay, tomat. Aku sedikit modifikasi resep gulainya dengan memasak daging terpisah dengan kuah. Daging kubumbui manis dengan kecap, dimasak dengan 1/3 kaldu bersama bawang, merica dan tomat hingga kuahnya habis.
Menurut teori nenekku, dengan begitu bumbu manis tersebut (sebenarnya bumbu semur) akan meresap kedaging dengan sempurna. Sedangkan kuah yang kubuat menjadi kuah gulai akan memiliki rasa pedas-spicy. Perpaduan rasa ini yang aku kejar sebenarnya. Manis didaging dikombinasi rasa pedas rempah di kuah yang agak kental menghasilkan rasa yang agak berbeda dengan gulai umumnya. Hasilnya? Gulai itu ludes, dan justru agak sedikit kekurangan karena tamunya cukup banyak. Syukurlah, percobaan yang berhasil.
Itulah sedikit tentang petualangan memasakku.... percobaan terakhirku, aku membuat biskuit goreng. Adonannya tadinya kupikir akan jadi adonan mie telur, tapi justru dengan digoreng jadi mirip biskuit crackers. Sayangnya hasil gorengannya sangat terpengaruh panasnya minyak. Jadinya hasilnya sering agak gosong. Tetapi anak-anak juga suka dan ikut makan kok.... so, cukup berhasil ternyata.
[Five for Fighting: “100 years”, ON]
Wassalam....
Sunset’s Admirer
No comments:
Post a Comment